Cerita Pendek Bomanto
(Pengelola Menulis
dan Sukses)
Genggaman semakin erat dan
kuperteguh pelukan agar mutiara yang telah menyita setumpuk waktu dan perhatian
ini tidak kembali menghilang tak tentu rimbanya. Benakku kini sudah sebulat
gundu dan seteguh karang di lautan demi mempertahankannya dan aku sama sekali
tak merasa gentar apalagi menyerah kalah kepada angina yang mengamuk dan
mengundang keganasan badai.
Sudah kubuka pintu dan jendela
lebar-lebar tanpa menunggu ketukan menggetarkan kesunyian. Dua tangan yang
terentang dalam semerbak bunga-bunga selalu sedia menyambut kehadirannya
seperti gadis menanti pujaan. Sama sekali tak ada beban berat yang mencengkeram
pundak sehingga langit tampak cerah tiada mendung sedikit pun dan senyum dapat
lebih leluasa melantunkan puisi cinta.
Sayup sebelum ini aku selalu
menyirami dan memupuk rindu hingga tumbuh subur dan rimbun karena aku sudah
teramat yakin bahwa suatu saat dia dating kembali. Biarlah kemarau yang rakus
dan kejam tak puas-puas mengeringkan kolam, danau, dan tega merebut tetes demi
tetes embun di bibir pagi, tetapi aku tetap merelakan butiran-butiran
keringatku. Ruangan sudah kutata rapih dan aku merdekakan dari segala debu,
bau, bahkan asap yang dapat membunuh perasaan nyaman dan tenteram.
Melalui cermin yang jernih dan
terbebas dari debu aku dapat lebih leluasa melihat kelebatan malapetaka yang
teramat lihai bersembunyi di balik topeng-topeng cantik dan gemerlap pesta yang
melukai kekosongan. Jingkrakan dan geliatan liar berderet membentuk barisan
panjang menuju lembah yang berwarna merah membara, kemudian ambruk dan
bertumpuk-tumpuk tanpa kuasa lagi meludahkan kepedihan. Sangat banyak
jingkrakan dan geliat di atas tumpukan itu seirama dengan mars kemenangan dalam
sebuah perayaan yang sangat besar.
Seperti lembaran-lembaran yang
sudah menepi dan terhimpun dalam lipatan tahun-tahun terakhir ini, di
lembaran-lembaran musim yang segera dating ini pun aku berharap dapat lebih
banyak menaburkan benih yang akan tumbuh subur dan membuahkan hasil yang lebih melimpah daripada musim-musim
biasa. Tentu saja kupilih benih yang terbaik yang akan setia menemani dan
menolongku di hari kemudian dan bukan benih rerumputan berduri , sembilu, bara
api, dan kabut pilu.
Aku sudah mendengar bahkan
merasakan sendiri kehadirannya yang membawa limpahan embun dan cahaya yang
teramat sakti membunuh kegelisahan dan kegelapan di ruangan ini. Tentu saja aku
berharap kedatangannya kali ini tetap membawa limpahan embun dan cahaya yang
terang-benderang itu sehingga aku bisa lebih leluasa membaca peta perjalanan
sehingga aku tidak terpedaya oleh bayangan semu dan kemilau fatamorgana untuk
kedua kali.
Sejak bertemu dengannya sekitar
tiga tahun yang lalu aku merasakan perjalananku lebih bermakna. Tanpa merasa
lelah aku memunguti butiran-butiran matahari dan melewati malam-malam dengan
ruku dan sujud. Lidahku sekarang lebih fasih mengeja ayat-ayat suci, dua
tanganku juga tiada ragu memberi, dan kedua kakiku terasa ringan mengunjungi
surau-surau dan masjid-masjid demi menaklukkan kantuk dan kealfaan di malam
yang larut.
Aku mulai dapat melupakan dan
menolak rayuan bintang-bintang yang tampak gemerlapan di kegelapan dan di
persimpangan jalan. Kutahu bahwa gemerlap itu semu dan tetap tidak akan mungkin
kuraih meskipun aku sudah terlalu jauh memburunya dan hancur luluh di rimba raya karena
kenyataannya semakin kukejar dia dengan sepenuh hasrat semakin jauh dia
meninggalkan aku yang terengah-engah, tercabik-cabik dan compang-camping.
Aku juga sudah tidak terlalu
tergoda rayuan kupu-kupu yang seringkali terbang hilir mudik di depat mataku
sambil memamerkan keindahannya yang mempesona. Petualanganku memburu dan
mengumpulkan kupu-kupu tidak juga memberikan kepuasan meskipun aku sudah
berhasil memcumbu lebih dari seribu kupu-kupu yang beraneka warna dan daya
tarik masing-masing, malahan menjerumuskan aku ke dalam lumpur yang
mengakibatkan luka-luka dan borok-borok menjijikkan di sekujur tubuh.
Saat itu aku menyadari sepenuhnya
bahwa diriku hanyalah selembar daun di antara ribuan daun yang mengalami siklus
yang sama. Tentu saja riwayatnya dimulai dari putik, daun yang cantik, kemudian
menguning, kecoklatan, dan berguguran di tanah. Negeri manakah yang dituju?
Daun-daun itu kembali ke negeri akhirat yang penuh keabadian guna mempertanggungjawabkan
perjalanannya. Mereka berkumpul di Mhsyar untuk memeriksa perbekalan dan
menerima skenario yang mesti dilakonkan. Skenario itu karangan mereka sendiri
selama perjalanan. Peran sedih atau gembira, mereka juga yang telah
menuliskannya selama perjalanan di dunia.
merdu penuh keramahan yang pernah menegurku di
persimpangan jalan (saat aku kebingungan) beberapa waktu lalu terngiang kembali
di ruanganku.
“Apakah Anda ingin kembali?”
Hari panas terik ketika itu,
masih tengah hari. Aku belum dapat melihat dengan jelas karena kabut tebal
menutupi pandangan.
“Menjemput senja, maksudmu?”
“Tidak ada yang sanggup menjemput
senja sebelum waktunya. Maksudku kembali ke jalan lurus.”
“Ya,” kataku cepat, “tapi aku
tidak tahu jalan yang mana yang pantas kutempuh. Sangat benyak jalan yang
terbentang di depan mata sehingga aku kebingungan. Semuanya terlihat nyata.
Semua menawarkan kegembiraan. Tanpa cahaya aku tak dapat mengamatinya dengan
seksama apalagi menentukan pilihan yang paling tepat. Aku tak ingin terombang-ambing
terus, tak ingin tersesat. Aku ingin jalan yang terang.”
“ketuklah pintu-Nya sekarang
juga.”
“Percuma.”
“Yakinlah, pintu itu selalu
terbuka bagi setiap ketukan yang sungguh-sungguh.”
“Untukku?”
“Ya, untukmu dan untuk semua
insane yang ingin mengikuti jejak Nasuha. Sekarang juga sebelum senja menutup
segalanya.”
“Tidak bisakan menunggu sampai
besok?’
“Senja datang tanpa diduga.”
“Aku tak yakin. Soalnya, tubuhku
penuh Lumpur dan luka-luka. Aku takut mengotori kesucian lantainya, atau
menyebabkan bau yang tidak sedap di ruangannya. Selain itu aku merasa sangat
malu karena aku pernah meninggalkannya dengan sikap congkak dan pongah hanya
demi memburu gemerlap pesta di remang-remang jalan. Sekarang aku telah terbukti
salah memilih dan hanya mendapatkan luka-luka dan kepedihan. Aku dating dengan
setumpuk nista. Mungkikah aku diterima-Nya? Masih adakah pintu yang akan terbuka setelah beribu celah tertutup
untukku? Pantaskah aku? Sungguh aku malu karena teringat dan dating pada-Nya
hanya dalam luka-luka.”
“Hanya dia tempat kembali.”
***
datang, ya, Ramadhan. Silakan lenggah di
permadani yang sengaja kusiapkan untukmu. Semoga bersamamu hari-hari menjadi
lebih bermakna.”
“Cerah sekali wajahmu. Aku
mengetahuinya dari sinar mata yang berbinar dan senyummu yang tampak lebih
manis dan tulus. Keramahan semacam ini tidak kudapat di awal perjumpaan kita,”
balasnya.
“Aku mendambakanmu.”
“Bukan lagi kebencian?”
Aku merasa wajahku bersemu merah
jambu. Aku memang pernah sedingin es batu terhadapnya. Aku pernah sangat membencinya
sehingga serangkum keheranan berkelabatan di benak ketika menyaksikan
jejak-jekak yang penuh suka-cita menyambut dan merayakan kedatangannya. Terasa
kakiku dirantai, kemaluanku dikebiri, mataku dibalut, mulut dan telingaku
disumbat rapat-rapat serta tanganku terikat kuat. Kekangan itu sungguh
menyiksaku.
Kini aku justru merasakan
sebaliknya. Kehadirannya memberikan kesempatan yang seluas-luasnya untuk
mengunduh buah kebajikan yang berlipat ganda jumlahnya. Terlabih lagi setelah
mengenal Lailatul Qodar, oo, rasanya tak ingin aku melewatkan kehadirannya yang
penuh makna.
Sembilu sudah pasti menari-nari
di kalbu setiapkali perjalanan sampai di penghujung bulan dan lambaian tangan
tnda perpisahan menghiasi jarak yang semakin merenggang karena sesungguhnya aku
sangat kuatir tidak sempat meraih pertemuan itu lagi. Air mata yang biasanya
membeku dan sekeras batu seketika runtuh tanpa kusadari hingga basahlah pipi,
sajadah, dan lantai sujud yang mengasah keningku. Sungguh aku masih ingin
menulisi lembaran-lembaran yang terbentang di depanku dengan nyanyian dan
tarian yang selalu disinari cahaya di atas cahaya.
Simpangan, Oktober 2002
(Cerpen ini pernah dimuat di
Sriwijaya Post Palembang pada Minggu, 10 November 2002)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar