Minggu, 17 Juni 2012

Rahmah



Cerita Pendek Bomanto
(Pengelola Menulis dan Sukses)
Rasa syukurku mencapai puncak gunung yang paling menjulang dan seluas lautan karena aku telah berhasil menemukan mutiara yang semula tersembunyi di kerikil-kerikil tajam, duri-duri, dan kabut gelap yang memedihkan mata.
Genggaman semakin erat dan kuperteguh pelukan agar mutiara yang telah menyita setumpuk waktu dan perhatian ini tidak kembali menghilang tak tentu rimbanya. Benakku kini sudah sebulat gundu dan seteguh karang di lautan demi mempertahankannya dan aku sama sekali tak merasa gentar apalagi menyerah kalah kepada angina yang mengamuk dan mengundang keganasan badai.
Sudah kubuka pintu dan jendela lebar-lebar tanpa menunggu ketukan menggetarkan kesunyian. Dua tangan yang terentang dalam semerbak bunga-bunga selalu sedia menyambut kehadirannya seperti gadis menanti pujaan. Sama sekali tak ada beban berat yang mencengkeram pundak sehingga langit tampak cerah tiada mendung sedikit pun dan senyum dapat lebih leluasa melantunkan puisi cinta.

Sayup sebelum ini aku selalu menyirami dan memupuk rindu hingga tumbuh subur dan rimbun karena aku sudah teramat yakin bahwa suatu saat dia dating kembali. Biarlah kemarau yang rakus dan kejam tak puas-puas mengeringkan kolam, danau, dan tega merebut tetes demi tetes embun di bibir pagi, tetapi aku tetap merelakan butiran-butiran keringatku. Ruangan sudah kutata rapih dan aku merdekakan dari segala debu, bau, bahkan asap yang dapat membunuh perasaan nyaman dan tenteram.
Melalui cermin yang jernih dan terbebas dari debu aku dapat lebih leluasa melihat kelebatan malapetaka yang teramat lihai bersembunyi di balik topeng-topeng cantik dan gemerlap pesta yang melukai kekosongan. Jingkrakan dan geliatan liar berderet membentuk barisan panjang menuju lembah yang berwarna merah membara, kemudian ambruk dan bertumpuk-tumpuk tanpa kuasa lagi meludahkan kepedihan. Sangat banyak jingkrakan dan geliat di atas tumpukan itu seirama dengan mars kemenangan dalam sebuah perayaan yang sangat besar.
Seperti lembaran-lembaran yang sudah menepi dan terhimpun dalam lipatan tahun-tahun terakhir ini, di lembaran-lembaran musim yang segera dating ini pun aku berharap dapat lebih banyak menaburkan benih yang akan tumbuh subur dan membuahkan hasil  yang lebih melimpah daripada musim-musim biasa. Tentu saja kupilih benih yang terbaik yang akan setia menemani dan menolongku di hari kemudian dan bukan benih rerumputan berduri , sembilu, bara api, dan kabut pilu.
Aku sudah mendengar bahkan merasakan sendiri kehadirannya yang membawa limpahan embun dan cahaya yang teramat sakti membunuh kegelisahan dan kegelapan di ruangan ini. Tentu saja aku berharap kedatangannya kali ini tetap membawa limpahan embun dan cahaya yang terang-benderang itu sehingga aku bisa lebih leluasa membaca peta perjalanan sehingga aku tidak terpedaya oleh bayangan semu dan kemilau fatamorgana untuk kedua kali.
Sejak bertemu dengannya sekitar tiga tahun yang lalu aku merasakan perjalananku lebih bermakna. Tanpa merasa lelah aku memunguti butiran-butiran matahari dan melewati malam-malam dengan ruku dan sujud. Lidahku sekarang lebih fasih mengeja ayat-ayat suci, dua tanganku juga tiada ragu memberi, dan kedua kakiku terasa ringan mengunjungi surau-surau dan masjid-masjid demi menaklukkan kantuk dan kealfaan di malam yang larut.
Aku mulai dapat melupakan dan menolak rayuan bintang-bintang yang tampak gemerlapan di kegelapan dan di persimpangan jalan. Kutahu bahwa gemerlap itu semu dan tetap tidak akan mungkin kuraih meskipun aku sudah terlalu jauh memburunya  dan hancur luluh di rimba raya karena kenyataannya semakin kukejar dia dengan sepenuh hasrat semakin jauh dia meninggalkan aku yang terengah-engah, tercabik-cabik dan compang-camping.
Aku juga sudah tidak terlalu tergoda rayuan kupu-kupu yang seringkali terbang hilir mudik di depat mataku sambil memamerkan keindahannya yang mempesona. Petualanganku memburu dan mengumpulkan kupu-kupu tidak juga memberikan kepuasan meskipun aku sudah berhasil memcumbu lebih dari seribu kupu-kupu yang beraneka warna dan daya tarik masing-masing, malahan menjerumuskan aku ke dalam lumpur yang mengakibatkan luka-luka dan borok-borok menjijikkan di sekujur tubuh.
Saat itu aku menyadari sepenuhnya bahwa diriku hanyalah selembar daun di antara ribuan daun yang mengalami siklus yang sama. Tentu saja riwayatnya dimulai dari putik, daun yang cantik, kemudian menguning, kecoklatan, dan berguguran di tanah. Negeri manakah yang dituju? Daun-daun itu kembali ke negeri akhirat yang penuh keabadian guna mempertanggungjawabkan perjalanannya. Mereka berkumpul di Mhsyar untuk memeriksa perbekalan dan menerima skenario yang mesti dilakonkan. Skenario itu karangan mereka sendiri selama perjalanan. Peran sedih atau gembira, mereka juga yang telah menuliskannya selama perjalanan di dunia.
Suara merdu penuh keramahan yang pernah menegurku di persimpangan jalan (saat aku kebingungan) beberapa waktu lalu terngiang kembali di ruanganku.
“Apakah Anda ingin kembali?”
Hari panas terik ketika itu, masih tengah hari. Aku belum dapat melihat dengan jelas karena kabut tebal menutupi pandangan.
“Menjemput senja, maksudmu?”
“Tidak ada yang sanggup menjemput senja sebelum waktunya. Maksudku kembali ke jalan lurus.”
“Ya,” kataku cepat, “tapi aku tidak tahu jalan yang mana yang pantas kutempuh. Sangat benyak jalan yang terbentang di depan mata sehingga aku kebingungan. Semuanya terlihat nyata. Semua menawarkan kegembiraan. Tanpa cahaya aku tak dapat mengamatinya dengan seksama apalagi menentukan pilihan yang paling tepat. Aku tak ingin terombang-ambing terus, tak ingin tersesat. Aku ingin jalan yang terang.”
“ketuklah pintu-Nya sekarang juga.”
“Percuma.”
“Yakinlah, pintu itu selalu terbuka bagi setiap ketukan yang sungguh-sungguh.”
“Untukku?”
“Ya, untukmu dan untuk semua insane yang ingin mengikuti jejak Nasuha. Sekarang juga sebelum senja menutup segalanya.”
“Tidak bisakan menunggu sampai besok?’
“Senja datang tanpa diduga.”
“Aku tak yakin. Soalnya, tubuhku penuh Lumpur dan luka-luka. Aku takut mengotori kesucian lantainya, atau menyebabkan bau yang tidak sedap di ruangannya. Selain itu aku merasa sangat malu karena aku pernah meninggalkannya dengan sikap congkak dan pongah hanya demi memburu gemerlap pesta di remang-remang jalan. Sekarang aku telah terbukti salah memilih dan hanya mendapatkan luka-luka dan kepedihan. Aku dating dengan setumpuk nista. Mungkikah aku diterima-Nya? Masih adakah pintu yang akan  terbuka setelah beribu celah tertutup untukku? Pantaskah aku? Sungguh aku malu karena teringat dan dating pada-Nya hanya dalam luka-luka.”
“Hanya dia tempat kembali.”

***

“Selamat datang, ya, Ramadhan. Silakan lenggah di permadani yang sengaja kusiapkan untukmu. Semoga bersamamu hari-hari menjadi lebih bermakna.”
“Cerah sekali wajahmu. Aku mengetahuinya dari sinar mata yang berbinar dan senyummu yang tampak lebih manis dan tulus. Keramahan semacam ini tidak kudapat di awal perjumpaan kita,” balasnya.
“Aku mendambakanmu.”
“Bukan lagi kebencian?”
Aku merasa wajahku bersemu merah jambu. Aku memang pernah sedingin es batu terhadapnya. Aku pernah sangat membencinya sehingga serangkum keheranan berkelabatan di benak ketika menyaksikan jejak-jekak yang penuh suka-cita menyambut dan merayakan kedatangannya. Terasa kakiku dirantai, kemaluanku dikebiri, mataku dibalut, mulut dan telingaku disumbat rapat-rapat serta tanganku terikat kuat. Kekangan itu sungguh menyiksaku.
Kini aku justru merasakan sebaliknya. Kehadirannya memberikan kesempatan yang seluas-luasnya untuk mengunduh buah kebajikan yang berlipat ganda jumlahnya. Terlabih lagi setelah mengenal Lailatul Qodar, oo, rasanya tak ingin aku melewatkan kehadirannya yang penuh makna.
Sembilu sudah pasti menari-nari di kalbu setiapkali perjalanan sampai di penghujung bulan dan lambaian tangan tnda perpisahan menghiasi jarak yang semakin merenggang karena sesungguhnya aku sangat kuatir tidak sempat meraih pertemuan itu lagi. Air mata yang biasanya membeku dan sekeras batu seketika runtuh tanpa kusadari hingga basahlah pipi, sajadah, dan lantai sujud yang mengasah keningku. Sungguh aku masih ingin menulisi lembaran-lembaran yang terbentang di depanku dengan nyanyian dan tarian yang selalu disinari cahaya di atas cahaya.
Simpangan, Oktober 2002
(Cerpen ini pernah dimuat di Sriwijaya Post Palembang pada Minggu, 10 November 2002)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar